Selasa, 04 Oktober 2011

Manfaat Cangkang Telur untuk pakan Ayam

Manfaat Cangkang Telur Untuk Pakan Ternak


Selama ini potensi limbah kerabang (cangkang) telur di Indonesia cukup besar. Sayangnya, potensi tersebut hingga saat ini belum dimanfaatkan secara optimal khususnya sebagai pakan unggas dan hanya dimanfaatkan untuk hiasan kerajinan.
Hal ini disebabkan karena sejauh ini limbah tersebut mudah terkontaminasi mikrobia dan kecernaan mineral kalsiumnya yang masih rendah. Disamping itu, keberadaanya dapat menyebabkan pencemaran lingkungan karena sulit didegradasi oleh mikrobia tanah.
Terkait dengan limbah kerabang telur tersebut  Prof. Dr. Ir. Tri Yuwanta, SU, DEA, yang juga Dekan Fakultas Peternakan UGM, telah berhasil mengembangkan metode prosesing limbah kerabang telur menjadi pakan sumber mineral ayam petelur.
Metodenya yang dipergunakan dalam prosesing limbah kerabang telur tersebut, diawali dengan perendaman kerabang telur dengan air panas 80º celcius selama 15-30 menit, dibersihkan, lalu dikeringkan. Kemudian direndam lagi menggunakan asam fosfat dengan beberapa konsentrasi, setelah itu dibuat tepung. Setelah jadi tepung, kemudian dicampur dengan bahan baku pakan lain seperti jagung giling, bekatul, bungkil kedelai dan lain-lain.
“Metode prosesing limbah kerabang telur menjadi pakan sumber mineral ayam petelur ini sudah mulai dikembangkan,” papar Ahmad Rois Mansur, mahasiswa Fakultas Peternakan, Program Studi Ilmu dan Industri Peternakan 2007, yang juga terlibat dalam penelitian tersebut, Rabu (3/10/2010).
Pemanfaatan limbah kerabang telur ini imbuh Mansur merupakan salah satu upaya untuk memperkaya nutrien mineral pakan untuk ayam petelur. Kerabang telur menyusun sekitar 10 persen dari total berat telur. Kerabang telur sebagian besar (98,4 persen) terdiri dari bahan kering dan hanya 1,6 persen air. Kerabang telur mengandung 95,1 persen mineral dan 3,3 persen protein.
“Di antara mineral tersebut yang paling banyak adalah kalsium karbonat (98,43 persen), magnesium karbonat (0,84 persen) dan kalsium fosfat sebanyak 0,75 persen,” katanya.
Sebagai gambaran, produksi telur ayam ras nasional pada 2009 sebesar 1.071.398 ton. Jika rata-rata berat telurnya 60 gram maka kerabang telur yang dihasilkan dalam setahun adalah 178.566,33 ton. Berat itu setara dengan 175.762,84 ton kalsium karbonat, 1.499,96 ton magnesium karbonat dan 1.339,25 ton kalsium fosfat.
Dia menegaskan, biaya produksi tepung kerabang telur (untuk 100 kg) diperkirakan sebesar Rp89.000. Jadi, harga pembuatan tepung kerabang telur per kgnya adalah Rp890 sedangkan harga sumber mineral yang juga sering digunakan yaitu tepung kerang berharga Rp2.500 per kg (selisih Rp 1.610).
“Rata-rata konsumsi pakan ayam petelur per hari adalah 100 gram per ekor  per hari dengan penggunaan tepung kerabang telur per harinya 3 gram (3 persen dari total pakan), maka biaya produksi per hari yang dapat dihemat adalah sebesar Rp48.300,00 per hari pada populasi ayam 10 ribu ekor atau Rp1,449 juta per bulan,” kata Mansur yang bersama timnya menjadi juara II dalam 2nd SATU Student Business Plan Competition di National Cheng Kung University Taiwan belum lama ini.
Lebih jauh Mansur menguraikan, ayam yang diberi kerabang telur sebagai sumber mineral mampu mencapai produksi 76,2 persen sedangkan dengan suplemen mineral lain sebesar 71,1 persen (selisih 5,1 persen). Sehingga pada peternakan ayam petelur yang memiliki populasi sebesar 10.000 ekor akan menghasilkan telur 510 butir lebih banyak (setara dengan 30,6 kg).
Jika harga 1 kg telur Rp12 ribu maka keuntungan yang bisa diperoleh adalah Rp367,2 ribu per hari atau Rp11,01 juta per bulan. Asumsi rata-rata berat telurnya 60 gram. Sehingga keuntungan total per bulan yang bisa diperoleh baik dari efisiensi pembuatan pakan maupun penjualan telur adalah Rp12,465 juta.
“Semakin besar skala usaha atau semakin banyak populasi ayam maka keuntungan yang diperoleh juga akan semakin banyak. Selain keuntungan finansial yang bisa diperoleh, suplementasi mineral menggunakan tepung kerabang telur juga dapat mendukung program ramah lingkungan,” pungkasnya.

Artikel Pemanfaatan Kotoran Ayam (Ternak)

Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dll. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, dan sebagainya. Apabila usaha peternakan semakin berkembang maka limbah yang dihasilkan juga akan semakin banyak.
Limbah ternak terbanyak biasanya dihasilkan dari ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses.
Selain menghasilkan feses dan urine, dari proses pencernaan ternak ruminansia menghasilkan gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Pada peternakan di Amerika Serikat, limbah dalam bentuk feses yang dihasilkan tidak kurang dari 1.7 milyar ton per tahun. Di Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan.
Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi mengenai pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total sapi dengan berat badannya 5000 kg selama satu hari, produksi manurenya dapat mencemari 9.084 x 107 m3 air. Selain melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingkungan secara biologis yaitu sebagai media untuk berkembang biaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86 % merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat, sementara kandungan air manure 65-85 % merupakan media yang optimal untuk bertelur lalat.
Kehadiran limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan pencemaran yaitu dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan penggemukan sapi yang paling hebat ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu pada saat tersebut lebih dari 6000 mg/m3, jadi sudah melewati ambang batas yang dapat ditolelir untuk kesegaran udara di lingkungan (3000 mg/m3).
Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ruminansia ialah meningkatnya kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai efek polusi yang spesifik, dimana kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai akibat terjadinya proses eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses nitrifikasi yang terjadi di dalam air yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air.
Tinja dan urine dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit, misalnya saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau tergores. Spora anthrax dapat tersebar melalui darah atau daging yang belum dimasak yang mengandung spora. Dampak limbah ternak memerlukan penanganan yang serius.

Penanganan Limbah Ternak

Penanganan limbah ternak akan spesifik pada jenis/spesies, jumlah ternak, tatalaksana pemeliharaan, areal tanah yang tersedia untuk penanganan limbah dan target penggunaan limbah. Penanganan limbah padat dapat diolah menjadi kompos, yaitu dengan menyimpan atau menumpuknya, kemudian diaduk-aduk atau dibalik-balik. Perlakuan pembalikan ini akan mempercepat proses pematangan serta dapat meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan. Setelah itu dilakukan pengeringan untuk beberapa waktu sampai kira-kira terlihat kering. Penanganan limbah cair dapat diolah secara fisik, kimia dan biologi. Berikut merupakan penjelasannya :
Pengolahan fisik
Pengolahan secara fisik disebut juga pengolahan primer (primer treatment). Proses ini merupakan proses termurah dan termudah, karena tidak memerlukan biaya operasi yang tinggi. Metode ini hanya digunakan untuk memisahkan partikel-partikel padat di dalam limbah. Beberapa kegiatan yang termasuk dalam pengolahan secara fisik antara lain seperti floatasi, sedimentasi, dan filtrasi.
Pengolahana kimia
Pengolahan secara kimia disebut juga pengolahan sekunder (secondary treatment) yang bisanya relatif lebih mahal dibandingkan dengan proses pengolahan secara fisik. Metode ini umumnya digunakan untuk mengendapkan bahan-bahan berbahaya yang terlarut dalam limbah cair menjadi padat. Pengolahan dengan cara ini meliputi proses-proses sperti netralisasi, flokulasi, koagulasi, dan ekstrasi.
Pengolahan biologi
Pengolahan secara biologi merupakan tahap akhir dari pengolahan sekunder bahan-bahan organik yang terkandung di dalam limbah cair. Limbah yang hanya mengandung bahan organik saja dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya, dapat langsung digunakan atau didahului denghan pengolahan secara fisik.
Pemanfaatan Limbah Ternak
Ada banyak manfaat yang dapat dipetik dari limbah ternak, apalagi limbah tersebut dapat diperbaharui selama ada ternak. Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan) seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain (unidentified subtances). Limbah ternak dapat dimanfaatkan untuk bahan energi, pupuk organik, media tumbuh dan lain-lain.

Limbah Ternak Sebagai Penghasil Gasbio

Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar gasbio. Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986).
Gasbio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2) (Simamora, 1989). Gasbio memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3. Menurut Maramba (1978) produksi gasbio sebanyak 1275-4318 I dapat digunakan untuk memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es untuk keluarga yang berjumlah lima orang per hari.
Bahan gasbio dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran hewan (manure), kotoran manusia dan campurannya. Kotoran hewan seperti kerbau, sapi, babi dan ayam telah diteliti untuk diproses dalam alat penghasil gasbio dan hasil yang diperoleh memuaskan (Harahap et al., 1980). Perbandingan kisaran komposisi gas dalam gasbio antara kotoran sapi dan campuran kotoran ternak dengan sisa pertanian dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel Komposisi gas dalam gasbio (%) antara kotoran sapi
dan campuran kotoran ternak dengan sisa pertanian.
Jenis gas
Kotoran sapi
Campuran kotoran ternak dan sisa pertanian
Metan (CH4)
Karbondioksida (CO2)
Nitrogen (N2)
Karbonmonoksida (CO)
Oksigen (O2)
Propen (C3H8)
Hidrogen sulfida (H2S)
Nilai kalor (kkal/m3)
65.7
27.0
2.3
0.0
0.1
0.7
tidak terukur
6513
54-70
45-27
0.5-3.0
0.1
6.0
-
sedikit sekali
4800-6700
Sumber : Harahap et al. (1978).
Pembentukan gasbio dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang meliputi tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik. Pada tahap hidrolisis terjadi pelarutan bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk primer menjadi bentuk monomer. Pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari gula-gula sederhana pada tahap ini akan dihasilkan asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan amoniak. Sedangkan pada tahap metanogenik adalah proses pembentukan gas metan. Sebagai ilustrasi dapat dilihat salah satu contoh bagan perombakan serat kasar (selulosa) hingga terbentuk gasbio.
Sedangkan bakteri-bakteri anaerob yang berperan dalam ketiga fase di atas terdiri dari :
1. Bakteri pembentuk asam (Acidogenic bacteria) yang merombak senyawa organik menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu berupa asam organik, CO2, H2, H2S.
2. Bakteri pembentuk asetat (Acetogenic bacteria) yang merubah asam organik, dan senyawa netral yang lebih besar dari metanol menjadi asetat dan hidrogen.
3. Bakteri penghasil metan (metanogens), yang berperan dalam merubah asam-asam lemak dan alkohol menjadi metan dan karbondioksida. Bakteri pembentuk metan antara lain Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanosarcina.

Limbah Ternak Sebagai Pupuk Organik

Di negara China tidak jarang dapat dilihat pembuangan limbah peternakan disatukan penampungannya dengan limbah manusia, untuk kemudian dijadikan pupuk organik tanaman hortikultura. Selain itu ada juga yang mencampurnya dengan lumpur selokan, untuk kemudian digunakan sebagai pupuk. Sebanyak 8-10 kg tinja yang dihasilkan oleh seekor sapi per hari dapat menghasilkan pupuk organik atau kompos 4-5 kg per hari.
Farida (2000) mengungkapkan bahwa produksi kokon tertinggi diperoleh dari pemanfaatan 50 % limbah feces sapi yang dicampur dengan 50% limbah organik rumah tangga, yang bermanfaat untuk dijadikan pupuk organik.

Limbah Ternak Sebagai Bahan Pakan dan Media Tumbuh

Sebagai pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein, lemak BETN, vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya. Ternak membutuhkan sekitar 46 zat makanan esensial agar dapat hidup sehat. Limbah feses mengandung 77 zat atau senyawa, namun didalamnya terdapat senyawa toksik untuk ternak. Untuk itu pemanfaatan limbah ternak sebagai makanan ternak memerlukan pengolahan lebih lanjut. Tinja ruminansia juga telah banyak diteliti sebagai bahan pakan termasuk penelitian limbah ternak yang difermentasi secara anaerob.
Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah bahan organik lain, seperti feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% + limbah organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi rumen 50% (Farida, 2000).


Manfaat Limbah ternak lainnya :

Kotoran Sapi menjadi meja dan kursi

Para peneliti di Michigan State University bekerja sama dengan Departemen Pertanian AS (USDA) mengembangkan teknik pemrosesan dan pemurnian kotoran sapi agar menjadi serbuk yang siap dipakai sebagai material penguat serat. Kedengarannya menjijikan tapi jangan khawatir karena kotoran sapi yang sudah diolah tidak lagi berbau dan tidak membahayakan.
Sejak lama peternak tradisional memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk kompos alami yang hanya ditaburkan di sekitar tanamannya. Namun, karena jumlah peternakan yang semakin besar dan tidak sebanding dengan lahan garapan, kotoran sapi menjadi limbah. Bau kotoran sapi menjadi polusi yang mengganggu lingkungan perumahan. Sebagian peternak bahkan harus mengeluarkan uang begitu besar hanya untuk menangani limbah ini.
Menurut Tim Zauche, profesor kimia dari Universitas Winconson seorang peternak sapi perah rata-rata mengeluarkan 200 dollar AS untuk setiap sapinya dalam setahun hanya untuk urusan ini. Bahkan, karena tuntutan pemerintah dan penduduk sekitar, beberapa peternakan besar memasang sistem pengolahan yang mahal. Kotoran sapi diolah sehingga menghasilkan panas dan sumber gas metana sebagai bahan bakar. Residunya tidak lagi berbau serta bermanfaat sebagai kompos atau media bibit.
Namun, para peneliti berusaha memanfaatkannya lebih jauh sebagai material campuran pengganti serbuk gergajian untuk memperkuat serat. Seperti halnya produk yang menggunakan serbuk gergajian, serbuk dari kotoran sapi yang telah diolah dicampur dengan resin kemudian dicetak dengan pemanasan dan penekanan. Sejauh ini, serat yang menggunakan serbuk kotoran sapi sama bahkan lebih kuat daripada serat campuran gergaji kayu. Para ilmuwan di Michigan telah menguji coba berbagai kombinasi untuk menemukan campuran yang paling kuat.
Pembuatan Briket dan pengendali patogen cendawan mentimun
Di India dengan adanya tinja sapi sebanyak 5 kg perekor dan kerbau 15 kg perekor, oleh pemerintah India disarankan untuk dihasilkannya dung cake (briket) secara massal sebagai sumber energi. Dilaporkan dari percobaan Basak and Lee (2001) bahwa tinja sapi yang segar pada perbandingan 1:2 mampu mengendalikan (100%) patogen cendawan akar mentimun (Cucumis sativus L.) dari serangan root rot oleh Fusarium solani f.sp. cucurbitae Synder and Hansen, dan layu oleh Fusarium oxysporum f.sp. cucumerinum Owen. Tinja sapi kemungkinan memiliki mekanisme pertahanan dan memberikan perlindungan pada bagian leher tanaman.

Daftar Pustaka :
Nurtjahya, Eddy. Dkk. 2003. Pemanfaatan limbah ternak ruminansia untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Artikel Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam

Pemanfaatan limbah bulu ayam sebagai sumber protein broiler diyakini mampu meminimalkan dampak lingkungan dari limbah bulu ayam dan menciptakan ramah lingkungan industri peternakan. Pemanfaatan limbah bulu melibatkan peran mikroorganisme dalam bentuk jamur melalui proses fermentasi. Jamur berperan dalam proses fermentasi merombak komponen kompleks dalam tepung bulu ayam menjadi komponen-komponen sederhana dan mudah diserap oleh tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kemampuan isolat jamur kandang ayam dalam meningkatkan kecernaan tepung bulu sehingga memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan ayam dalam upaya untuk meminimalkan dampak pencemaran limbah bulu ayam di lingkungan. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama tes fermentasi untuk menentukan dosis inokulum jamur terbaik yang dapat meningkatkan kandungan protein tertinggi. Pada tahap pertama penelitian menggunakan non-faktorial desain acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan, perlakuan terdiri dari R0 (kontrol / bulu makan tanpa fermentasi), R1 (dosis inokulum jamur 1%), R2 (jamur inokulum dosis 2 %) dan R3 (dosis inokulum jamur 3%). Fase kedua dari pengujian pengujian biologis untuk menentukan efek dari penggunaan bulu di ransum makanan unggas pada pertumbuhan. Pada tahap kedua penelitian menggunakan non-faktorial desain acak lengkap dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan, yang terdiri dari 5 perplot ayam dengan penggunaan tingkat jatah T0 (kontrol diet), T1 (makan bulu 2,5%), T2 (5 bulu makan%), T3 (makan bulu 7,5%) dan T4 (makan bulu 10%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan inokulum jamur sampai 3% dalam proses fermentasi memberikan dampak yang sangat berbeda secara signifikan pada peningkatan kandungan protein tepung bulu ayam. Perbedaan yang ditunjukkan oleh peningkatan kandungan protein lebih tinggi dari T0 (tanpa fermentasi) dan T1 (dosis inokulum 1%) dan T2 (dosis inokum 2%). Pada fase kedua dari pengujian menunjukkan bahwa penggunaan tepung bulu difermentasi dengan jamur Penicillium sp isolat hingga tingkat 5% dalam ransum, menunjukkan konsumsi pakan, berat badan dan konversi pakan secara signifikan berbeda dari kontrol (tanpa makan bulu ayam) . Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dosis inokulum jamur yang dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan protein tepung bulu adalah pada dosis 3%, sedangkan tepung bulu ayam yang difermentasi dengan jamur Penicillium sp inokulum yang dapat digunakan dalam jatah dari 5%. Menggunakan limbah bulu ayam berubah dari sebagai sumber protein untuk broiler mudah-mudahan Mei meminimalkan tingkat dampak polusi oleh bulu ayam itu sendiri dan memimpin sebuah peternakan unggas dengan ramah lingkungan. Dalam memanfaatkan limbah bulu ayam melibatkan peran mikroorganisme fermentasi dengan jamur melalui proses, MANA jamur dalam proses fermentasi yang memainkan perannya untuk mereformasi komponen yang lengkap dalam produk bubuk tersebut ke dalam komponen yang lebih sederhana dan ada untuk penyerapan oleh hidup ayam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Memeriksa keberadaan mengisolasi jamur sebagai limbah di kandang ayam dalam Meningkatkan diserap dalam bubuk bulu ayam dan memimpin pengaruh yang baik untuk pertumbuhan ayam dalam rangka meminimalkan dampak pencemaran oleh limbah bulu ayam untuk lingkungan. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah tes Fermentasi, untuk menentukan dosis inokulum jamur Paling Berharga Mampu untuk meningkatkan adalah konten terbesar dalam protein. Pada tahap pertama, penelitian ini mengadopsi desain non-faktorial acak lengkap dengan empat perlakuan dan 3 kali. Perlakuan terdiri dari R0 (kontrol bubuk / bulu tidak difermentasi), R1 (dosis inokulum jamur 1%), R2 (jamur inokulum dosis 2%) dan R3 (innoculum jamur dosis 3%). Pada tahap kedua adalah tentang item tes biologis untuk menentukan mempengaruhi penggunaan bubuk bulu ayam dalam ransum untuk pertumbuhan unggas. Pada tahap kedua, menguji mengadopsi desain non-faktorial acak lengkap dengan 5 perlakuan dan 4 pengulangan terdiri dari 5 plot ayam dengan tingkat jatah penggunaan T0 (ransum kontrol), T1 (bubuk bulu 2,5%), T2 (bubuk bulu 5%), T3 (bubuk bulu 7,5%) dan T4 (bubuk bulu 10%). Hasil penelitian menunjukkan Bahwa penggunaan inokulum jamur sampai 3% dalam proses fermentasi yang menunjukkan pengaruh dalam berbeda signifikan untuk improvisasi kandungan protein dalam bentuk bubuk bulu ayam. Perbedaannya kaleng Meningkatkan terlihat dengan konten yang lebih tinggi protein Dari T0 (tidak difermentasi) dan T1 (dosis inokulum 1%) dan T2 (inokulum dosis 2%). Pada tahap kedua itu tes menunjukkan penggunaan bulu ayam bubuk jamur fermentasi Penicillium sp isolat sampai dengan tingkat 5% dalam ransum, ransum menunjukkan konsumsi, peningkatan berat unggas dan konversi ransum sangat signifikan dengan kontrol (tanpa bulu ayam bubuk). Sebagai kesimpulan, dosis inokulum jamur menjadi Digunakan dalam Meningkatkan kandungan protein pada bulu ayam adalah pada dosis 3%, sedangkan bubuk bulu ayam yang difermentasi dengan inokulum jamur Penicillium sp Mampu menggunakan jatah Dalam 5%. Prof Dr Basuki Wirjosentoro, MS; Dr Zulfikar Siregar, MP; Dr Ir. Hasanuddin, MS

  • Remote_image20100928-16849-122sonr-0

  • Remote_image20100928-16849-1t45stx-0

  • Remote_image20100928-15835-53rxcl-0

Senin, 03 Oktober 2011

Jual Ayam Bangkok SI PITUNG

Pitung ayam F1 murni dgn teknik teknik sabit/celurit,pukulan pukulan taji dan pukul syaraf.Pitung sudah menang 2kali
Ukuran 7


PITUNG.JPG
  

GAYA PITUNG.JPG
  

GAYA PITUNG.JPG
  

KAKI PITUNG.JPG
DATA PENJUAL
WIJAYA sEMARANG
  

Minggu, 02 Oktober 2011

IKLAN ANDA DISINI !!!








IKLAN ANDA !!!
Masukkan data produk/barang anda












































Powered byEMF Form Builder

Report Abuse